Mendikbud Diminta Kaji Ulang Dua Versi Rapor

Senin, 07 Agustus 2017 08:09 WIB   Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD)

Harianjogja.com, SOLO — Pengamat pendidikan dari Universitas Slamet Riyadi (Unisri) Solo, Sugiaryo, mendesak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy mengkaji ulang wacana dua versi rapor di SD, SMP, dan SMA. Sugiaryo menilai rencana tersebut kurang efektif dan justru menambah beban guru. Sebelumnya, Muhadjir berencana mewajibkan guru membuat dua versi rapor. Versi pertama adalah rapor akademik intrakurikuler dan yang kedua rapor berisi narasi deskriptif aktivitas siswa.

Menurut dia, adanya dua rapor bagi siswa akan menjadi kendala dalam kenaikan kelas. Hal itu terjadi apabila rapor akademik baik sedangkan rapor rekaman aktivitas siswa jelek, demikian pula sebaliknya.

“Kalau kondisinya demikian, siswa bersangkutan naik kelas atau tidak? Jadi ini perlu dipertimbangkan,” jelasnya saat dihubungi Solopos.com, Selasa (1/8/2017). Belum lagi, imbuh Sugiaryo, beban kerja guru juga bertambah karena harus memberikan penilaian naratif deskriptif.

“Saya khawatir guru mengisi rapor asal-asalan. Untuk itu rencana pemberlakuan dua rapor agar ditinjau ulang,” kata dia.

Sementara itu, sejumlah kepala SD, SMP, dan SMA di Solo menyatakan kesiapan mereka melaksanakan kebijakan Mendikbud Muhadjir Effendy untuk menerbitkan dua rapor. Kepala Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Luqman Al Hakim Solo, Tri Sanyoto, tidak keberatan menerbitkan dua rapor bagi siswa.

“Kami mengikuti dan siap menjalankan kebijakan pemerintah [Mendikbud] sesuai dengan kemampuan,” kata dia.

Demikian pula dengan Kepala SMPN 24, Siti Latifah. Dia setuju dengan program pemerintah yang akan memberlakukan kebijakan dua rapor. Sebenarnya, lanjut dia, rapor Kurikulum 2013 sudah menunjukkan rapor akademik dan penilaian aktivitas siswa meski bentuknya hanya satu buku rapor.

“Apabila pemerintah dalam hal ini Mendikbud mewajibkan dua versi rapor, saya siap melaksanakan. Kami menunggu petunjuk pelaksanaan [juklak] dan petunjuk teknis [juknis],” kata Ifah.

Senada disampaikan Kepala SMP Muhammadiyah 5 Solo, Sudarno. “Tidak apa-apa, kami siap melaksanakan kebijakan itu [dua rapor],” ujar dia. Terpisah, Kepala SMAN 1 Solo, Harminingsih, mengatakan membuat dua rapor untuk SMA tidak mudah. Terutama rapor tentang rekaman aktivitas siswa.

Menurut dia, wali kelas SMA tidak setiap hari bisa bertemu langsung dengan para siswanya karena harus mengajar di kelas lain. Mereka tidak bisa memantau aktivitas murid-murid. Kondisinya berbeda dengan dengan wali kelas SD atau SMP yang setiap hari mengajar siswanya di kelas sehingga dapat mengetahui aktivitas anak didiknya.

“Dua rapor untuk SMA sulit, tapi kami manut dengan keputusan pemerintah,” ujar dia.

Shared: